Antara Senja, Deadline, dan Mata Perih: Cerita di Tengah Perjalanan
Saya selalu percaya bahwa traveling bukan cuma tentang berpindah tempat, tapi soal meresapi momen. Duduk di pinggir pantai, menatap langit senja, atau sekadar menyeduh kopi panas di tengah kota yang asing. Tapi apa jadinya jika justru mata saya, jendela untuk menikmati semuanya, mulai memberontak? Awalnya saya tak pernah benar-benar peduli. Di tiap perjalanan, saya hanya fokus pada itinerary, kamera, dan laptop. Saya menulis, memotret, merekam detail. Tapi lama-kelamaan, ada yang terasa aneh. Mata saya sering terasa sepet , seperti ada pasir yang menempel. Kadang perih , dan seringnya lelah bahkan ketika tubuh saya masih penuh tenaga. Saya sempat sepele . Mengira ini efek kurang tidur atau jet lag biasa. Tapi saat kejadian itu terjadi di Manado—saat saya hampir tak bisa menyelesaikan tulisan karena mata benar-benar terasa panas dan merah—saya sadar, ini lebih serius dari yang saya kira. Ini bukan hanya capek. Ini mata kering , dan kalau terus dibiarkan, bisa menghentikan seluruh...